Sep 29, 2013

No male(s) during delivery, please?



I was being asked multiple times to comment on the issue stated above for some obvious reasons.



Being in this country with Islam as our national religion is kind of an unique experience because in this Bolehland, the religion is practised slightly differently from the original teaching for reasons beyond the understanding of even the brightest Muslim scholars.
Read: Islam in Malaysia: Perceptions & Facts. 

Headline News
Neither am I an expert in Islamic studies nor a woman.

But I am a husband and also a medical person.

Personally, in life, everything is about prioritization.

You can't live without prioritization.
If you don't prioritize, you'll end up doing things that's not urgent,
and leaving things that is important unattended.

Let's put religion aside.

We’re Just Humen
What's the priority?

As for me, the priority is simple.


Health and safety trumps privacy
.


If possible, even as non-Muslims, it is the hope of every men that their wife's privacy will be protected from other men (except for swingers and naturalists), unless there is an issue of safety or possibility of better/more superior treatment that can be only managed by the more experienced male medical person.

The writer of the letter clearly understand this but he has a slightly different threshold as he only consider treatment by the male expert after complication arises.

As a medical person, medical practice is moving away from paternalistic medicine and constantly, if not always, is taking into account of the patient's wishes.

Taking into account of patient's wishes do not mean it is for the doctor to tleave the patient to blindly follow a suicidal path.

The medical person should try his/her best to give the best counselling based on latest evidence and possible worse case scenario to the patient together with the patient's family members/closest next of kin.

And if certain examination or treatment are being rejected, the second best or follow up should be considered for the patient.

In the West, namely, UK, focus is on the respecting the women's wish(es) and consent, including doing intimate examination.

It is done only if it is completely necessary and with formal consent in a comfortable room.

Here, sometimes, intimate examination is being done, for completion sake or not following protocol. It is something that we must look into.

But, most of the time, the women are extremely compliant because they value health and safety more than privacy. (the subservient value of Asian women, maybe)

In medicine, we must try our best to cater to women's wishes and needs.


For instance, for women with Jehovah's witness as their religion, they are never keen for blood transfusion, and in UK, as a solution or as the second best, they are being referred to medical centres with Cell-Saver if they are of high risk of bleeding.

Another instances would be for elderly ladies planned for removal of womb for benign condition.
If she is ardent on conserving the ovaries - why not?
Recently, a Prof asked us guys, how would you feel if I want to do a bilateral orchidectomy for you.

Thus, if in the hospital, if the woman's wish is to follow her religion strongly,
and the hospital can provide the appropriate female medical person, why not?



But the woman and her partner should be fully counselled (warned) regarding the downside of having such preference - mainly delay and in rare instances, deadly complications associated with delay.

As MOfrust puts it succinctly:
I personally feel, the letter should be rewritten in a different manner. Instead of MELARANG, it should be "meminta supaya kakitangang wanita yang mengendalikan kes isteri saya". Either that or add a clause at the end of the letter: 
I will take full responsibility of any morbidity that will happen in the event of any delay in treatment of my wife as a result of me not allowing any male staff to attend to my wife despite being informed on the inadequate female staff....signed and dated by husband.
For most people in the medical line, we always classify those patients as fussy patients who are better off going to private because they can get whatever they want at a higher price.

Often, I felt it is a wrong mindset.
It is just like some idiots who tell off some Malaysians,
if you don't like our education, or our government, or our healthcare, or our food, you can migrate to other country, or balik to the original country of our ancestors.

In the public healthcare, the cost of healthcare is almost the same.
The public paid taxes - some pay more, some pay less.
And allocations are being made for healthcare.
Meaning, the people paid for the services at the public healthcare facilities through their taxes, not just their RM1 only.

From The Bottle of My Heart

Thus, the women and their respective husbands can make their wishes crystal clear, but they must accept the shortcomings and difficulties faced by the medical staffs of public hospital.

Prioritization of healthcare should be done to cater to all the women in the wards, and not just fully allocating a female doctor for the patient who requested female doctors only.

And at that some juncture, they must decide - RELIGION or HEALTH/SAFETY takes precedent...

Don't be surprise that for some, religion may comes first. Read: Qurban

In our neighbouring country - Brunei, only female obstetricians and gynaecologists are accepted into service.

Did you know that?

Below are commentary for intimate health examination by the opposite gender, from the Islamic perspective.
Pada diri wanita ada ciri-ciri atau kriteria yang spesifik dan itu tidak dimiliki oleh lelaki, begitu pula sebaliknya. Apabila salah satu pihak meninggalkan kriteria yang telah ditetapkan Allah bererti ia telah meninggalkan fitrah dan merosak kudrat insaniah. Ada beberapa ketentuan dalam syariat Allah sehubungan kriteria yang dimiliki oleh wanita, oleh sebab itu berpegang teguhlah dengan syariat tersebut dan jangan perkenankan lelaki campur tangan dalam urusan dalaman jika tidak ingin dirugikan ataupun kehidupan fizikal dan kejiwaan wanita akan rosak.
Secara syariat, wanita muslimah hendaklah menjaga dirinya dan auratnya dari dilihat orang lain, kerana jika perkara ini terjadi pasti akan menimbulkan fitnah. Secara fitrah baik lelaki ataupun wanita yang bukan muhrim bersentuhan pasti akan menimbulkan berahi dan getaran jiwa yang akan mendatangkan tekanan syahwat baik banyak mahupun sedikit. Inilah namanya nafsu yang pasti ada pada diri seorang lelaki ataupun wanita yang normal.
Wanita mengandung ketika mengadakan pemeriksaan bulanan dengan doktor lelaki bukanlah tergolong dalam keadaan darurat, kerana ketika itu wanita tersebut bukan dalam keadaan sakit. Jika ia bukan dalam keadaan darurat sudah tentu hukumnya berdosa ketika seorang doktor lelaki menyentuh bahagian-bahagian tertentu tubuh wanita tersebut. Kedudukan darurat dalam Islam adalah jika sesuatu keadaan itu tidak ada pilihan lain, maka secara terpaksa atau harus kita melaksanakan sesuatu yang pada dasarnya bertentangan dengan ketetapan Allah. Umpamanya, memakan daging khinzir hukumnya haram, namun ketika dalam keadaan tidak ada sedikitpun makanan melainkan daging itu sahaja, sedangkan kita dalam keadaan kelaparan yang boleh membawa maut, maka hukumnya menjadi harus memakan daging tersebut sekadar mengelakkan dari mati.
Begitu juga halnya dalam masalah pemeriksaan bulanan, ia bukanlah dalam keadaan darurat, sebab masih ada cara lain atau alternatif lain untuk mencari doktor wanita ataupun bidan yang beragama Islam. Apatah lagi di negara kita sekarang ini mudah didapati doktor wanita, bahkan di hospital dan klinik kerajaan pun kebanyakan yang memeriksa wanita hamil terdiri dari doktor atau bidan wanita. Mengapa kita mesti mencari doktor lelaki jika hanya sekadar menginginkan kepakaran mereka disaat mengadakan pemeriksaan bulanan. Bahkan doktor wanita yang pakar sakit puan pun telah ramai di negara ini. Maka tidak timbullah istilah ‘darurat’ ketika mengadakan pemeriksaan bulanan dengan doktor lelaki bagi wanita hamil. Kecualilah ketika akan melahirkan, di mana wanita yang akan melahirkan tersebut memerlukan pembedahan dan perhatian yang serius dari ramai pihak. Maka ketika ini barulah boleh dipakai istilah darurat tersebut, kerana wanita yang ingin melahirkan itu tidak terfikir masalah lain, melainkan ingin selamat melahirkan anaknya.
Ditinjau dari aspek psikologi pun proses pemeriksaan bulanan yang dilakukan wanita hamil dengan doktor lelaki ini akan menimbulkan kesan yang jauh dan negatif dalam hubungan kekeluargaan. Bayangkan saja bagi seorang wanita yang selama ini hanya disentuh oleh suaminya, tentu akan merasa suatu getaran ketika lelaki lain menyentuhi tubuhnya. rasa kelainan dan getaran inilah yang membenihkan suatu keinginan tertentu kepada yang lain selain suaminya, lebih-lebih lagi ketika mereka menghadapi masalah atau krisis rumahtangga. Perkara ini sepintas lalu nampaknya macam perkara biasa dan sederhana, namun dalam jangka masa panjang, kesannya sangat membahayakan minda dan jiwa isteri tadi serta suaminya juga. Dalam hal ini bagi doktor lelaki mungkin tidak merasakan apa-apa perasaan terhadap pesakitnya, disebabkan terlalu ramai pesakit yang dirawatnya setiap hari dan ini menjadikannya lali dengan keadaan tersebut. Namun bagi seorang wanita yang normal dan sihat, getaran di jantungnya pasti akan terasa dan getaran inilah yang dinamakan syahwat.
Jika perkara ini terjadi bukanlah bererti setiap wanita yang hamil itu tidak baik atau wanita yang rendah moralnya, malah perkara ini membuktikan kenormalan wanita tersebut. Dalam hal ini kebijaksanaan suami sangat dituntut untuk melaksanakan tuntutan Islam agar isterinya mengadakan pemeriksaan bulanan dengan doktor wanita Islam sahaja.
Saya ingin membawa contoh yang sama dalam diri seorang lelaki. Bagaimanakah rasanya perasaan seorang lelaki jika bahagian tertentu tubuhnya disentuh oleh doktor wanita dengan nada bahasa yang lemah-lembut dan baik. Sebagai seorang lelaki yang normal, pasti dia akan merasakan getaran di jantungnya, kecualilah jika ketika itu ia betul-betul sakit (dalam keadaan darurat), sehingga tidak ada yang lain difikirkannya melainkan kesembuhan dari sakitnya itu. Begitu juga halnya dengan doktor wanita yang menyentuh pesakit lelaki mungkin merasa lali dengan situasi tersebut disebabkan profesi dan tanggungjawabnya sebagai seorang doktor.
Fahamilah tentang kaedah batas-batas aurat bagi seorang wanita atau lelaki yang bukan muhrim. Jika perkara ini tidak diberi perhatian secara serius, lama kelamaan akan runtuhlah sendi institusi rumahtangga keluarga muslim. Seandainya seluruh umat Islam tidak mengambil berat tentang perkara ini, bukan saja institusi rumahtangga malah negara pun akan runtuh kerana kejatuhan nilai moral dan agama dalam kehidupan bangsa. Peliharalah diri dan keluarga kita agar kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat serta terhindar dari seksa api neraka. Wallahu A’lam…
Wassalam.
http://www.ukhwah.com/

No comments: